Saturday, July 9, 2011

Katjie & Piering : Mendefinisikan "Musik Pop Indonesia"


Bagi anda-anda yang belum tahu, Katjie & Piering adalah project bentukan Kushandari Arfanidewi (Ayayay) dan Raden Muhammad Sigit Agung Pramudita (Sigit), dua musisi dari kota Bandung. Aya adalah personil Baby Eat Crackers, dan Sigit adalah personil dari salah satu band favorit saya yaitu Tigapagi. Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Rolling Stone Indonesia, menurut mereka Katjie & Piering adalah sebuah nama yang diambil dari nama bunga. Selain itu, jika dipisah, mereka menganggap kata 'kaca' dan 'piring' seperti menggambarkan dua hal: feminin dan maskulin.

Lebih jauh mengenai cerita dibalik Katjie & Piering bisa dibaca di wawancara dengan Rolling Stone Indonesia pada link di atas. Sebelumnya, jujur ketika saya pertama kali mendengarkan lagu-lagu mereka, saya langsung suka, their music is really good. Album mereka hanya berisikan empat buah lagu cover dan satu lagu sendiri. Singkat, namun sangat berkualitas. Mendefinisikan lagu-lagu mereka bagi saya sedikit sulit, karena, meskipun Sigit sendiri mengaku tidak ingin disebut memainkan pop etnik/sunda, namun tidak bisa dibantah memang kalau nuansa musik mereka sangat-sangat "nyunda". Oke, jika boleh, saya akan mendefinisikan lagu-lagu mereka dalam genre akustik pop-eksperimental. (Jawaban yang sangat diplomatis sebenernya :D)

Lagu-lagu pada album mereka dibawakan dengan format akustik dan memiliki sentuhan nuansa musik tradisional disana-sini. Jika kita berbicara mengenai perpaduan antara musik populer (atau modern) dan musik tradisional, contoh lain dapat ditemukan dari band bernama "Monkey Majik" dan "Tokyo Jihen". Monkey Majik adalah band pop-rock Jepang yang terdiri dari dua orang kanada dan dua orang Jepang. Mereka membawakan lagu dengan lirik campuran bahasa Inggris dan Jepang, serta terkadang menyisipkan bebunyian khas Jepang dalam aransemen lagu-lagunya. Contoh paling kentara dapat dilihat pada lagu "Change" yang menggunakan "shamisen" (alat musik tradisional Jepang). Sedangkan Tokyo Jihen adalah sebuah band Pop-Jazz-Experimental yang juga seringkali menggunakan repertoir serta aransemen nada khas Jepang. Penampilan panggung dan video klip mereka juga sangat teatrikal dan biasanya menampilkan budaya Jepang yang dikemas secara postmodern. Contohnya bisa dilihat pada lagu berjudul "Kurumaya San".

Sigit & Ay.
Picture taken by me

Kembali kepada Katjie & Piering, tracklist mereka terdiri dari satu lagu berjudul "Kinanti" serta empat cover lagu ; "Destiny" milik Homogenic, "Polypanic Room" milik Polyester Embassy, "Zsa Zsa Zsu" milik Rock N Roll Mafia, dan "Psycho Girl" milik Olive Tree. Nuansa musik tradisional yang saya sebutkan terlihat dari adanya alunan suling dan karinding bersama petikan gitar dan suara biola. Mungkin kedengarannya sedikit tidak lazim, sejak kapan alat musik tradisional tersebut bisa dipadukan dengan musik pop? Apalagi dengan lirik yang berbahasa Inggris, apakah bisa "nyambung"? Bisa.

Saya jadi berpikir, mungkin kita sering terlena dengan embel-embel "Indie" sehingga terkadang image dari musik-musik yang berlabel Indie/Cutting Edge sering dianggap selalu bernuansa kebarat-baratan/non-Indonesia. Yah, mungkin ini adalah jebakan dari industri kapitalis itu sendiri. Pada akhirnya segala sesuatu yang "berbeda" akan menjadi populer dan akhirnya menjadi komoditas juga. Maka itu saya berpikir kalau tidak semua yang kelihatannya keren itu harus bernuansa Barat. Dan kreatifitas dalam seni sebetulnya sangat-sangat tidak mengenal batas. Musik pop berpadu dengan alunan musik tradisional, gitar berpadu dengan karinding, dan bahkan siapa tau nanti kita akan mendengar synthesizer atau musik 8-bit berpadu dengan angklung dan gamelan?

Katjie & Piering seperti membuktikan bahwa berada dalam scene "Indie" tidak harus selalu serba barat, dan bebunyian tradisional dapat menjadi elegan, modern, serta cocok di telinga anak muda. Bagi saya, Katjie & Piering dengan alunan "nostalgic"nya (begitulah Sigit menyebut genre musik mereka) adalah sebuah panggilan kerinduan dari anak muda Indonesia yang mengerti, jauh di lubuk hatinya bahwa kesenian, bebunyian, serta alat musik tradisional di Indonesia juga sama "keren" nya dengan apa yang ditawarkan oleh musik populer maupun cutting edge yang ditawarkan dari luar Indonesia. Setidaknya, mendengarkan Katjie & Piring membuat saya merasa bangga menjadi orang Indonesia, negara pemilik beragam kesenian tradisional yang luar biasa. Saya rasa ini adalah sentilan bagi kita semua, kalau bisa ada istilah J-Pop, K-Pop, Swedish Pop dll, kenapa kita tidak memiliki sebuah kultur musik populer yang sangat-sangat Indonesia atau "Indonesian Pop"? Saya tidak tahu Namun, bagi saya Katjie & Piering sedikit demi sedikit mencoba menjawab pertanyaan itu.


"Lewat album ini, kami ingin buat orang nostalgia lagi sama kampung halaman, siapapun sebenarnya, bukan orang Sunda saja. Tapi kalau dengar lagu ini, biar orang ingat asalnya dari mana.”
- Ay (Katjie & Piering).

No comments:

Post a Comment